Minggu, 18 Juli 2010

Who I am ..Who Am i....

Pagi ini saya dapat sms :

" Terimakasih banyak ya, salam. Di malang sudah banyak bantu kami. Minta maaf, kami gak bisa balas apa-apa"

Jadi teringat 3 bulan lalu saya mendapat sms yang serupa...
Saat ketika hidup saya dipenuhi rutinitas mengisi klinik di sana-sini, berbulan-bulan berlanjut seperti itu, datang, meriksa pasien, makan, tidur, periksa pasien, pulang dan dapet uang, dan begitu seterusnya. Tanpa sadar pikiran saya mulai terkorupsi... ketika ada tawaran jaga yang ada dipikiran hanyalah saya dapat apa, atau saya dapat berapa, hanya seputar materi, materi dan materi...

Hingga suatu saat adik kost saya terserang astma, dan membutuhkan nebulizer (mesin yang mengeluarkan uap), lalu saya bawa ke kampus, dan kebetulan di tempat itu ada beberapa mahasiswa FK, lalu saya bilang ke adik kelas saya " nah, sekarang saatnya kamu beramal". Dia tentunya tahu maksud saya, beramal disini berarti merelakan dirinya untuk diperiksa, saat itulah saya men-tentir (mengajari red.) beberapa orang yang kebetulan ada disitu.Real Case, Real Patient, and Real Treatment... walaupun adik kelas saya itu megap-megap menahan sesaknya, sedikit kejam memang, tapi tidak apa-apa...
Pembelajaran itu memang butuh pengorbanan..


Beberapa hari kemudian mereka minta di-tentir tentang pemeriksaan fisik, katanya mereka mau meriksa anak SLB, saya tentir sebisa saya. Menurut saya, Pemeriksaan fisik itu bukan perkara mudah, jadi ketika saya kembali diminta untuk mendampingi mereka memeriksa anak-anak SLB yang tuna rungu, tentu saya bersedia. Dan ternyata memang benar, tidak mudah, berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tanpa anamnese yang jelas dan sebagainya, cukup sulit untuk melakukan pemeriksaan kesehatan seperti itu. namun saya puas karena disamping karena pengalaman baru, juga berhasil mengetahui hampir separuh dari mereka mengalami rabun jauh yang belum terdeteksi sepenuhnya.

setelah kegiatan itu saya mendapat sms yang senada,
" terima kasih banyak, maaf kami tidak bisa memberi apa-apa "

tentu saja mereka tidak sadari, bahwa sebenarnya mereka sudah memberikan saya begitu banyak.

setelah berbulan-bulan saya bersedia ikut kegiatan tanpa harus berfikir saya dapat apa, saya dapat berapa.
walau mereka berkata, maaf kami tidak bisa memberi apa-apa, tanpa sadar, mereka memberi saya kesempatan.
Kesempatan untuk mengingat kembali tentang hidup saya, tentang

Who I Am.. Who Am I.......
tentang siapa saya... dan saya ini siapa...

diatas semua itu, memberikan saya suatu kebahagian., kebahagiaan dalam memberi, dan kebahagian melakukan dengan ikhlas. yang sejujurnya perlahan-lahan hilang dalam diri saya.

Akhir kata...

Kebaikan itu menyebar kawan...

seperti nasihat yang diberikan kepada teman saya.
" Selain kita harus pintar 'menambah' dan 'me-kali', kita juga harus pintar 'mengurangi' dan 'membagi'

nb:
lanjutan sms tersebut :
"Mungkin 'cuma' doa, semoga menemukan jalan yang terbaik, yang benar-benar diinginkan."
Mungkin sering tidak disadari, Justru sebenarnya doa yang tulus adalah pemberian paling berharga yang diberikan muslim kepada seorang muslim lainnya. Karena kekuatan utama seorang muslim adalah pada doanya..



Jumat, 14 Agustus 2009

Saya merasa

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa di wisuda menjadi dokter dihadiri oleh keluarga

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa menikah dan memiliki keluarga

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa berkarya menjadi klinisi paling handal atau akademisi paling tinggi

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa memiliki anak dan mendidiknya untuk berguna bagi bangsa dan agama

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa berbakti pada orang tua hingga akhir hayatnya


Hingga………

tadi malam

teman saya di tabrak. Teman seangkatan. teman seperjuangan.

tadi malam

saya datang ke UGD dan melihat tubuhnya terpasang infus dan perban… di mulutnya terpasang selang yang mengalirkan udara ke paru-parunya..

tadi malam

saya melihat udara dipompa ke dadanya… monitor terpasang ditubuhnya…

tadi malam

saya melihat darah terus menetes dari kepalanya. cairan terus keluar dari telinganya.

menggenangi lantai dengan darahnya.

Tadi malam

Saya mentaklilkan "Laa Ilaaha Illalaahu" ditelinganya

Tadi malam

ema mardiana, teman saya,

yang hanya dalam beberapa bulan lagi menjadi dokter

Meninggal,


Innalillahi wa Innailahi Raji'un



Hari ini, Saya merenung

Apakah umur saya akan sepanjang yang selama ini saya pikirkan

Wallahu a’lam - hanya ALLAH yang tahu -

Sabtu, 13 Juni 2009

Resep

Ternyata tulisan dokter itu harus bagus.



Legal obligation to write clearly


Doctors are legally obliged to write clearly, as emphasized in the UK Court of Appeal ruling in the following case. A doctor had written a prescription for Amoxil tablets (amoxicillin). The pharmacist misread this and dispensed Daonil (glibenclamide) instead. The patient was not a diabetic and suffered permanent brain damage as a result of taking the drug.


The court indicated that a doctor owed a duty of care to a patient to write a prescription clearly and with sufficient legibility to allow for possible mistakes by a busy pharmacist. The court concluded that the word Amoxil on the prescription could have been read as Daonil. It found that the doctor had been in breach of his duty to write clearly and had been negligent. The court concluded that the doctor's negligence had contributed to the negligence of the pharmacist, although the greater proportion of the responsibility (75%) lay with the pharmacist.


On appeal the doctor argued that the word on the prescription standing on its own could reasonably have been read incorrectly but that various other aspects of the prescription should have alerted the pharmacist. The strength prescribed was appropriate for Amoxil but not for Daonil; the prescription was for Amoxil to be taken three times a day while Daonil was usually taken once a day; the prescription was for only seven days' treatment, which was unlikely for Daonil; and finally, all prescriptions of drugs for diabetes were free under the National Health Service but the patient did not claim free treatment for the drug. All of these factors should have raised doubts in the mind of the pharmacist and as a result he should have contacted the doctor. Therefore, the chain of causation from the doctor's bad handwriting to the eventual injury was broken.


This argument was rejected in the Court of Appeal. The implications of this ruling are that doctors are under a legal duty of care to write clearly, that is with sufficient legibility to allow for mistakes by others. When illegible handwriting results in a breach of that duty, causing personal injury, then the courts will be prepared to punish the careless by awarding sufficient damages. Liability does not end when the prescription leaves the doctor's consulting room. It may also be a cause of the negligence of others.


Source: J R Coll Gen Pract, 1989: 347-8

Senin, 08 Juni 2009

Bukanlah

Sejatinya, bukanlah kondisi seseorang itu yang sedang sakit atau sedang tidak sakit,
yang mampu mengubah kebahagiaan menjadi kesengsaraan.
Namun kondisi jiwa seseoranglah
yang berpotensi membentuk wacana bahagia dan sengsara tersebut.

Janganlah berduka, jangan takut hidup menderita,
karena bisa jadi semua derita
akan menjadi kekuatan dan karunia
selama hidup di dunia

(Abdul Muhsin dalam buku Tetap bahagia di Saat sakit)

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag2

Pada suatu malam di jalan antara malang-kepanjen.

Di tempat praktek seorang dokter, ada seorang pasien yang duduk diruang tunggu, jika ada pasien lain dia mempersilakannya lebih dulu, dia menunggu, dokter itu heran apa yang dia tunggu, tidak biasanya ada pasien seperti itu. Lalu malam semakin larut, setelah tidak ada pasien lainnya, barulah pasien itu masuk.

Pasien itu adalah bapak sudah memiliki cucu berumur sekitar 50an tahun. Ketika ditanya apa keluhannya, bapak itu tidak menjawab, malah mempersilakan pak dokter langsung memeriksa seakan-akan bapak itu merahasiakan sesuatu, dengan penuh keherananan, dokter itu memeriksa fisik bapak itu. dan ternyata setelah memeriksa perut bapak itu, terperanjatlah karena pada bagian liver bapak itu, teraba keras, membesar dan berdungkul-dungkul.

Bapak itu seperti menyadari, lalu setelah pemeriksaan selesai, bapak itu langsung berkata "dokter, apa penyakit saya? tidak perlu ragu menjawab yang sebenarnya." Dokter itu tertegun, betul dia ragu, karena penyakit yang diderita bapak itu bukan sembarangan, jika ternyata salah maka fatal akibatnya. "Sudahlah dokter tidak perlu ragu, bilang saja apa adanya." Seakan-akan mencoba menghapus keraguan dari dokter itu.

Lalu dokter itu menjawab "bapak, sebetulnya ini perlu pemeriksaan lebih lanjut. hanya saja dari pemeriksaan tadi dugaan kuat saya, bapak menderita kanker liver." Bapak itu hanya menunduk, sambil berkata lirih " apakah ada obatnya?" lalu dijawab " jika memang benar kanker liver, maka sampai saat ini belum ada obatnya "

Lalu dengan berkaca-kaca bapak itu mengangkat wajahnya dan berkata :

"ALHAMDULILLAH"

"Tidak semua orang yang akan mati, "diberi tahu" dulu".

Dokter itu kaget, seumur hidupnya tidak pernah ada orang yang divonis terkena kanker mengucapkan syukur seperti itu,

Tidak semua orang dapat mengatakan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah telah memberikan penyakit ini, sehingga ingat dengan kematian, seakan-akan hal itu didepan matanya, memberikan kesempatan bertaubat, memberikan kesempatan meminta maaf terhadap kerabat dan orang yang telah terzhalimi, mendapatkan kesempatan menyelesaikan hutang-hutang. mendapatkan kesempatan menikmati hidup detik, demi detik, menit demi menit, hari demi hari, sebelum akhirnya kematian menjemput.

Tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu.

Mungkin itulah yang dipikirkan bapak itu, bapak itu mengganggap hal yang ditakdirkan kepadanya bukanlah sutau musibah tapi kasih sayang Allah, sehingga ia bisa mempersiapkan segala sesuatunya disaat orang lain mungkin meninggal pada sore hari padahal ketika pagi hari masih segar bugar.


Ternyata sebelumnya bapak itu pernah diperiksa ditempat lain, dan divonis yang sama, untuk menenangkan hatinya dia pergi, tanpa arah, dia naik sembarang bis dan turun disembarang tempat lalu menemui sembarang dokter, sebelum turun di tempat praktek dokter itu, dia telah melewati beberapa dokter lain. namun entah mengapa dia turun di dokter itu. dia tidak tahu mengapa, dia hanya merasa 'sreg' turun di dokter itu.

Yang dia tidak tahu
, bahwa dokter itu adalah dekan di Fakultas kedokteran, Orang terpenting di fakultas yang mendidik ratusan-hingga ribuan dokter tiap tahunnya. orang yang mengisahkan cerita ini dihadapan ratusan calon-calon dokter masa depan. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kisahnya tidak hanya menjadi inspirasi dari dokter itu, tapi juga menjadi inspirasi bagi ratusan bahkan ribuan dokter lain. Bahwa bebas dari penyakit bukanlah satu-satunya jawaban, namun memaknai hidup [yang tersisa] justru itulah jawaban sebenarnya.

it's not only about prolong a life but also quality of life
Bukan hanya menyembuhkan penyakit, tapi yang terpenting adalah meningkatkan kualitas hidup

dan ternyata sekali lagi, tidak ada yang kebetulan. Takdir Allahlah yang menentukan.

Sabtu, 06 Juni 2009

Seakan-akan setengah dewa

"Pak Dokter, musim ini saya nanam apa? saya ikut apa kata Pak Dokter aja"
= di suatu daerah di sekitar lamongan =

"keluhannya bu?"
"Ini dok, saya mau tanya, sebentar lagi anak saya SPMB, bagusnya milih apa ya?"
= di suatu klinik sekitar lawang =


Jumat, 05 Juni 2009

Afraid

I am afraid.
Afraid to my self.
Afraid can't control my Anger
Afraid someday, it will blow up, not to people who i hate, but people who i love.
I am Afraid.